Stagnasi dan Peluang yang Terus Terlewat
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia menyumbang hampir 61% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja sektor swasta. Salah satu layer pada kelompok UMKM adalah Usaha Menengah, yakni mereka yang tengah berada pada jalan pertumbuhan menuju level usaha besar.
Di Indonesia, perusahaan menengah didefinisikan oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 sebagai usaha yang memiliki omzet tahunan antara IDR 2,5 milyar hingga IDR 50 milyar dan mempekerjakan 20 hingga 99 orang. Perusahaan ini seringkali memiliki lebih banyak sumber daya dibandingkan usaha kecil. Kapasitas produksi dan jangkauan pasar tentunya lebih luas. Namun, meskipun memiliki potensi untuk berkembang, banyak perusahaan menengah yang kesulitan mengakses teknologi canggih dan riset pasar yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing. Tantangan ini membuat mereka terjebak dalam stagnasi, sementara pemain besar di atas mereka terus mendominasi pasar dengan data dan wawasan yang lebih mendalam.
Keterbatasan Anggaran atau Keterbatasan Wawasan (?)
Salah satu yang membedakan antara Usaha Besar dengan Usaha Menengah adalah akses mereka ke wawasan pasar dan perilaku konsumen. Perusahaan besar dapat secara rutin melakukan riset dan analisis mendalam untuk mengidentifikasi pergeseran tren. Hal ini memungkinkan mereka untuk segera beradaptasi dan tetap berada trek terdepan dalam 'perlombaan'. Sebaliknya, sebagian besar Usaha Menengah terhalang oleh keterbatasan anggaran dan sumber daya untuk melakukan hal yang serupa, bahkan sebagian besar belum menyadari pentingnya wawasan yang mendalam akan konsumen terhadap resiliensi bisnis mereka, akibatnya meskipun memiliki anggaran yang bisa diinvestasikan untuk membangun infrastruktur customer insights, hal tersebut tidak dilakukan.
Herbert A. Simon seorang ahli psikologi dan teori organisasi memperkenalkan bounded rationality , keterbatasan manusia dalam pengambilan keputusan rasional. Dalam konteks administrasi bisnis, batasan ini mengacu pada keterbatasan kognitif dan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang manajer dalam mengambil keputusan. Usaha menengah yang tumbuh dari 0 menuju 1, memiliki pengalaman kuat dan inheren tentang bagaimana membangun sebuah bisnis. Lingkungan yang menopangnya menciptakan sebuah framework "do and don't" dalam setiap keputusan bisnis mereka. Di tahap perintisan, resiliensi personal adalah faktor kunci. Pebisnis di tahap ini akan melakukan berbagai kesalahan dan terus bangkit. Progres bisnis yang positif, kompleksitas operasional meningkat, mendorong pebisnis ke tahap berikutnya, mulai mengefektifkan sistem operasional internal. Mereka akhirnya sudah sepenuhnya berpindah dari "belum ada" menjadi "sebuah bisnis".
Seiring berjalannya waktu, sekarang mereka berada di pasar yang lebih terbuka. Tantangan dan peluang semakin membesar. Jika pada tahap "0" ke "1" faktor personal adalah kunci, maka "1" menuju "10", "1" menuju "5", atau "1" menuju "100" faktor kuncinya sudah berbeda, resiliensi businessman beralih menuju resiliensi bisnis yang sesungguhnya. Wawasan akan market, trend, dan budaya yang lebih kompleks menjadi kunci. Sayangnya, seorang manajer atau pebisnis terjebak pada referensi masa lalu tentang bagaimana membuat bisnis dari "0" menuju "1". Implikasinya pada alokasi penganggaran. Akhirnya tak banyak yang mau berinvestasi pada wawasan mendalam terhadap konsumen dan teknologi yang handal. Padahal mereka telah berada di tahap menuju Usaha Besar.
Paradoks: Usaha Menengah Benar-Benar Terjebak di Tengah (?)
Perusahaan besar yang memiliki anggaran dan tim riset pasar yang memadai selalu mendapatkan wawasan terbaru tentang pasar dan perilaku konsumen. Ini memberikan mereka keunggulan dalam berinovasi, menyesuaikan produk, dan merancang strategi bisnis yang lebih efektif. Sementara itu, Usaha Menengah terjebak di tengah-tengah. Tanpa data dan riset yang mendalam hampir dipastikan bisnis beroperasi berdasarkan pengalaman dan intuisi. Tanpa akses ke riset pasar, mereka tidak dapat mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan konsumen dan hanya dapat ikut bereaksi setelah melihat perubahan di pasar, yang sering kali sudah terlambat. Menyebabkan mereka tertinggal di belakang perusahaan-perusahaan yang lebih besar.
Demokratisasi Wawasan Pasar untuk Usaha Menengah
Solusi untuk masalah ini adalah dengan mendorong demokratisasi wawasan pasar. Demokratisasi ini bertujuan untuk memberikan akses yang lebih luas dan lebih mudah kepada usaha di berbagai level terhadap data yang relevan mengenai perilaku konsumen, tren pasar, dan analisis kompetitor. Dengan memberikan akses yang lebih terjangkau dan praktis, mereka bisa mulai menyusun infrastruktur atau bekerjasama dengan pihak eksternal dalam melakukan riset pasar yang murah dan sesuai kebutuhan.
Jika Usaha Menengah atau mungkin UMKM secara umum dapat mengakses wawasan pasar yang tepat, mereka bisa memperbaiki produk atau layanan mereka, berinovasi sesuai dengan kebutuhan konsumen, dan menyesuaikan strategi bisnis untuk menghadapi perubahan tren. Dengan wawasan yang lebih baik dan terukur, pebisnis menengah bisa lebih cepat beradaptasi dan merespons perubahan tren yang terjadi di pasar.
Kolaborasi akan menghemat biaya
Apa yang mahal dari sebuah inovasi? Tentu adalah pengetahuan di baliknya. Begitupun wawasan pasar dan pelanggan, biayanya mahal. Sulit diakses oleh bisnis menengah jika tidak dilihat sebagai sebuah investasi jangka panjang. Menangani masalah ini, mereka dapat menjalin kemitraan dengan lembaga riset, universitas, atau konsultan yang berfokus pada riset pasar dan pelanggan. Kolaborasi ini bisa membuka akses ke data pasar yang lebih lengkap dan memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang perilaku konsumen dan tren pasar. Dengan bantuan konsultan riset atau lembaga akademik, mereka dapat memperoleh rekomendasi strategis yang lebih tepat dan berbasis data. Hal ini juga akan meningkatkan kapasitas mereka dalam membuat keputusan yang lebih cerdas dan relevan dengan pasar yang terus berubah. Di saat yang sama mereka perlu membangun tim internal yang secara berkelanjutan melakukan riset, sehingga tidak seterusnya bergantung kepada konsultan atau pihak eksternal.